LIMA TAHUN DI JOGJA

Lima tahun tinggal di Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Yogyakarta membuat saya sadar akan beberapa hal. Namun, apa yang saya tulis disini tentu tidak semuanya. Mengapa? Karena Jogja menyimpan berjuta cerita, berjuta angan, berjuta mimpi, yang saya sendiri tidak sanggup menuliskannya dengan kata-kata. Saya tambahkan kutipan dari Sudjiwo Tejo yang saya pikir cocok dengan kisah saya bisa “tersasar” di Jogja (yang tidak akan saya jelaskan disini), “Pergi ke Jogja adalah caraku menertawakan kesibukan orang-orang Jakarta”.

Inilah sedikit cerita dari saya, selamat membaca :)


Sangat mudah untuk menjadi “medok” di Jogja

Saya menetap di Jogja sejak SMA. Saya adalah murid baru dari SMP di Jakarta. Dengan logat saya yang sedikit berbeda dari teman-teman, mereka sangat tertarik. Terkadang saya diminta berbicara gaya Jakarta. Tapi saya tidak bisa. Saya malah terbawa arus, mengikuti gaya bicara halus dan “medok” khas Jogja. Sehingga saat bertemu atau menelpon teman-teman dari Jakarta yang mereka berkata, “PARAH, omongan lu Jawa banget sal!” dan perasaan saya sangat senang ketika  “dikatai” begitu. Dalam hati saya bersorak gembira, “Aku dadi wong Yogja tenanan!”. Ternyata hal tersebut tidak hanya terjadi pada diri saya. Saat saya kuliah, ada beberapa teman yang berasal dari Sumatera. Kurang lebih dua tahun berkuliah dan bergaul dengan manusia-manusia Jawa (Jogja khususnya), sukses membuat logat mereka berubah dari yang sumateranian menjadi javanicus.

Senang sekali mendengarkan Bahasa Jawa ataupun logat Jawa digunakan dimana-mana dan oleh siapa saja. Bahkan belakangan baru saya sadari, di Bandara Adi Sutjipto pengumuman-pengumuman penerbangan dibawakan dalam tiga bahasa : Indonesia, Inggris, dan tentunya Basa Jawa!


JOGJA BERTAHAN KARENA WARISAN BUDAYANYA

Dalam salah satu perkuliahan dosen saya berkata, “kota yang memiliki identitas dari masa lampau adalah kota yang menyenangkan”. Bagi saya, itulah Jogja. Kota yang menyenangkan karena disesaki oleh banyak sekali peninggalan-peninggalan dari masa lalu. Sedikit dari banyak tinggalannya sebut saja Keraton, Pura Pakualaman, dan Taman Sari dari masa-masa kejayaan Islam. Adapula Kantor Pos Besar, Gedung Bank Indonesia, Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Kawasan Kota Baru dari era penguasaan kolonial. Semuanya bisa ditemukan di dalam kota Jogja. Bahkan bangunan-bangunannya masih difungsikan untuk fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, perkantoran, hingga sebagai tempat tinggal atau sekadar sebagai objek eksotis untuk mengabadikan foto.

Kantor Pos Besar dari Titik 0 KM Jogja (dok.Pribadi)
Perlu kita ingat, tinggalan-tinggalan tersebut sebenarnya menjadi menarik karena selain usianya yang tua, juga karena nilai-nilai historis yang kadang kita sendiri kurang memerhatikannya. Semua tinggalan itu memiliki cerita. Walaupun jumlahnya sudah berkurang, mereka adalah saksi bisu dinamika Yogyakarta dari dulu hingga sekarang. Maka jangan lupa untuk mencari tahu kisah-kisah warisan budaya Yogyakarta  dari Mbah Google setelah berkunjung dan mengabadikan selfie.

DARI JOGJA DEKAT KEMANA-MANA
Kendaraan Mengantri di Perlintasan Kereta Api Lempuyangan (dok. Pribadi)
Jogja berada pada titik yang strategis. Kata “dekat kemana-mana”, bagi saya berarti beberapa hal. Yang pertama di Jogja, dalam satu hari kita bisa saja mendatangi empat atau lima tempat sekaligus. Dari Pasar Kranggan, pergi ke Perpustakaan  Kota untuk mencari materi kuliah, kemudian ke kampus, lalu mampir ke pom bensin, setelahnya melihat pameran di Jogja Expo Center. Variasi-variasi tempat yang ingin dikunjungi tentunya dapat diseuaikan dengan kebutuhan. Mengapa bisa demikian? karena memang jaraknya yang terjangkau dan kemacetan di Jogja masih bisa ditolerir. Walaupun lampu merahnya lama, tetapi orang-orang Jogja tetap sabar. Membunyikan klakson kendaraan bukan kebiasaan. Hanya sekadar untuk mengingatkan bahwa sudah waktunya jalan.

Selain itu, dekat kemana-mana juga berarti dari Jogja bila ingin ke pantai kita bisa lurus ke arah selatan, sedangkan bila ingin ke gunung langsung saja meluncur ke arah utara. Banyak sekali pilhan pantai, gunung, juga bukit yang dapat disinggahi dari Jogja. Ingin ke kota lain? tentu juga bisa. Jogja dekat sekali dengan Solo, Magelang, Semarang, Surabaya, bahkan Jakarta juga menjadi dekat melalui Jogja. Sarana transportasi juga sangat mendukung untuk melakukan perpindahan ini. Bandara, stasiun, dan jalan raya, semuanya memadai.


Walaupun begitu, Ada perubahan yang mulai terasa

Bagaimanapun, perubahan adalah hal yang tidak bisa dihindari oleh siapapun termasuk Yogyakarta. Jogja sekarang mulai dipadati oleh gedung-gedung tinggi, apartemen, hotel, mall, dan sebangsanya. Tidak jarang saya menemukan kawasan permukiman yang memasang spanduk bertuliskan “WARGA MENOLAK PEMBANGUNAN APARTEMEN”, “HENTIKAN PEMBANGUNAN HOTEL, MELANGGAR IMB”. Warga resah dengan keberadaan bangunan-bangunan modern yang menyebabkan dampak negatif bagi mereka. Air tanah berkurang, bila hujan terjadi genangan dan tentu ruang publik menyempit, anak-anak kehilangan tempat bermain. 

Inilah perubahan yang tidak terelakkan. Hal lain, jumlah kendaraan bermotor semakin banyak, tetapi jalanan sudah tidak bisa lagi dilebarkan. Inilah sedikit pandangan tentang perubahan Jogja yang disebabkan oleh tuntutan kebutuhan manusia, tuntutan padatnya Jogja.


Tugu Jogja di Pagi Hari (dok. Pribadi)
Tetapi, Jogja tetap istimewa untuk semua..

Terakhir, kesan-kesan setelah lima tahun di Jogja adalah : Memang benar Jogja adalah tempat yang istimewa. Jogja adalah tempat semua orang dari seluruh nusantara berkumpul , menuntut ilmu, mengais rejeki atau sekadar menikmati  sudut-sudut kotanya. Semua orang boleh mengekspresikan dirinya disini. Bahkan saya pernah melihat demo mahasiswa Papua di tengah jalan dan mereka mengenakan koteka. Tidak ada yang melarang, semuanya berjalan lancar. Orang-orang Jogja adalah orang yang bisa menerima perbedaan. Selama itu tidak berseberangan dengan norma-norma adiluhung Jawa. Jangan takut datang ke Jogja, tetapi mohon sayangi Jogja, hormati warisan leluhurnya. Karena, “Semua sudut Jogja itu romantis”, kata Anies Baswedan.

Semoga Jogja tetap istimewa…
Istimewa negerinya, istimewa orangnya,
Jogja istimewa untuk Indonesia*

*penggalan lagu “Jogja Istimewa” dari Jogja Hip Hop Foundation 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magang alias Internship di Museum Nasional

CANDI PRINGAPUS