Gelar Wicara Balar DIY : Vihara dan Pesantren

((setelah sekian lama tidak ada post, akhirnya oh akhirnya...))


sumber : laman Instagram Balar DIY (@balarjogja)


Hari ini (8/5/2020) saya mengikuti Gelar Wicara Daring yang diadakan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Tema yang diangkat kali ini adalah: Mengenal Vihara dan Pesantren sebagai Tempat Pembelajaran melalui Perspektif Arkeologi. Bagi saya pribadi, tema tersebut menarik karena dapat menggambarkan beberapa nuansa dalam satu rangkaian. Pemilihan vihara, masih senada dengan peringatan Hari Raya Waisak yang jatuh sehari sebelum acara ini. Selanjutnya pesantren, tentu seirama dengan berjalannya bulan suci Ramadan, dan terakhir, tempat pembelajaran, yang diusung sehubungan dengan penyelenggaraan Pekan Pendidikan Jogja 2020 dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional (seperti yang ditulis dalam post acara ini pada laman Instagram @balarjogja).

Pembahasan pertama mengenai vihara disampaikan oleh peneliti Balar Jogja yaitu Mbak Agni Mochtar. Vihara yang menjadi pembahasan utama dalam diskusi ini adalah vihara yang tercatat dalam prasasti mulai dari abad ke-8 hingga 11 M. Sementara itu, dari 21 prasasti yang dijadikan sebagai sumber primer, sebagian besar prasasti berasal dari abad ke-9 sampai 10 M. Prasasti-prasasti dengan kata vihara (atau bihara, atau wihara) tersebut tersebar di pulau Jawa (paling barat di sekitar Pekalongan, dan paling timur di sekitar Mojokerto. Walau demikian, temuan terbanyak ada di sekitar Yogyakarta. Menurut Mbak Agni, banyaknya temuan yang ada di wilayah ini dapat mendukung teori bahwa ibukota kerajaan Mataram Kuno memang berada di sekitar Yogyakarta. Namun, beliau juga menegaskan bahwa peneltian ini bukan hasil yang terupdate[1], sehingga mungkin saja dapat terjadi berbagai penambahan dan penelitian ini masih dapat dikembangkan.

Terlepas dari prasasti dan seluk-beluknya, satu hal lagi yang disinggung dalam sesi ini adalah mengenai adanya perubahan makna vihara dari masa Jawa Kuno hingga sekarang. Bila dahulu vihara merupakan tempat tinggal bhiksu untuk mempelajari kitab suci dan melakukan ritual keagamaan (khususnya Buddha), saat ini keberadaan vihara tidak hanya digunakan oleh umat Buddha, namun juga dipakai sebagai rumah ibadah dan tempat belajar bagi penganut Tri Dharma (Buddha, Taoisme, dan Konfusianisme) (baca: klenteng). Disamping itu, saat ini tidak semua vihara berfungsi untuk tempat tinggal para bhiksu.

Setelah vihara, selanjutnya giliran pesantren yang mendapat tempat untuk dibahas. Kali ini presentasi disampaikan oleh Bapak Drs. Masyhudi, M.A. yang juga peneliti dari Balai Arkeologi. Sebagai pembuka, beliau menyatakan bahwa kata pesantren bukan berasal dari bahasa Arab. Pesantren berasal dari kata santri, dan santri sendiri bila ditarik lebih jauh berasal dari kata shastri[2] ataupun sastra yang berakar dari bahasa Sanskerta. Kemudian, untuk pesantren sendiri pada umumnya terdiri dari beberapa elemen seperti pondok[3], masjid, pengajaran kitab klasik, santri, dan kiai. Adanya pesantren sesungguhnya dimaksudkan agar dapat tercipta kemudahan dalam berkomunikasi dalam rangka menyampaikan ilmu dari kyai pada santri-santrinya.

Sebagai contoh bukti arkeologis yang masih dapat ditemukan di pesantren, misalnya terdapat lingga besar, serta tempat wudhu kuno yang ada di kompleks Masjid Maulana Malik Ibrahim, di Leran, Gresik. Selain itu adapula Langgar Bubrah (yang disinyalir sebagai bekas pesantren tua) di Kudus, serta masjid di Bagelen, Purworejo dengan prasasti beraksara dan bahasa Arab di temboknya. Dari prasasti tersebut diketahui bahwa tanah tempat masjid itu berdiri adalah tanah perdikan dari Mataram Islam, yang diberikan kepada Syekh Baedhowi sebagai bentuk terimakasih dari raja kerena telah menyembuhkan istrinya. Pesantren di Jawa diyakini telah berkembang sejak abad ke-15 atau 16 M dan terus menyiarkan agama Islam hingga sekarang.

Itulah pembahasan singkat dari diskusi daring yang telah saya ikuti hari ini. Pada intinya, barangkali dapat disimpulkan bahwa terdapat kesinambungan tradisi dari masa klasik hingga masa berkembangnya Islam, khususnya di Pulau Jawa. Sebagai tambahan, bagi saya vihara maupun pesantren sangatlah mirip. Semuanya adalah tempat belajar-mengajar tentang ilmu kehidupan dan keagamaan. Di vihara para murid diajar oleh bhiksu, sementara di pesantren para santri belajar dari sang kiai. Asrama dan pondok, sama-sama tempat tinggal, dan satu lagi semuanya mengajarkan kepada kebaikan.

Sebagai penutup, moderator dari acara ini juga menyampaikan bahwa terkait dengan tempat belajar, sepertinya kondisi saat ini telah “memaksa” kita untuk menciptakan tempat-tempat belajar baru dan menghadirkan sistem baru. Bukan seperti di vihara atau pesantren dimana para murid atau santri harus langung datang. Saat ini dengan dukungan teknologi, sekat-sekat kelas hilang dan semua bisa melakukan pembelajaran dimanapun berada[4].


Beberapa tangkapan layar dari diskusi daring hari ini :
(sumber: Youtube Balar Jogja)

Peta persebaran prasasti yang mengandung kata vihara (bihara atau wihara).

Gerbang Masjid Maulana Malik Ibrahim (kiri), tempat wudhu kuno (kanan).

Situs Langgar Bubrah, Kudus.

Prasasti pada tembok masjid di Bagelen, Purworejo (kiri),
salah satu naskah yang dipelajari di pesantren (kanan).

Terimakasih,
Syukran katsiira.
Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā.


[1] Penelitian terakhir dilakukan oleh Mbak Agni sekitar tahun 2015 dan terbit pada jurnal Berkala Arkeologi. Penjelasan lebih lengkap tentang vihara masa Jawa Kuno juga bisa dibaca dalam jurnal ini (jurnal dapat diunduh di : https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/berkalaarkeologi/article/view/60)
[3] Kata pondok berasal dari bahasa Arab : fuunduq.
[4] Bagi teman-teman yang ingin menyimak Gelar Wicara Daring kali ini dapat melalui link berikut : https://www.youtube.com/watch?v=B7s4_c_dHdc

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magang alias Internship di Museum Nasional

CANDI PRINGAPUS